Senin, 17 September 2012

AJI Banda Aceh Nilai Dua Media Langgar Kode Etik Jurnalistik



Banda Aceh -  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh menyatakan belasungkawa sedalam-dalamnya terhadap keluarga PE (16 tahun) di Langsa, seorang anak perempuan yang bunuh diri demi menjaga martabat keluarganya yang dicemarkan media. Hal ini dinyatakan dalam siaran persnya yang diterima media, Senin (17/9) di Banda Aceh.
Sebelum memutuskan menghilangkan nyawa, PE menulis sepucuk surat yang ditujukan pada ayahnya, ”Ayah…Maafin putri ya yah, Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani bersumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu putri cuma mau nonton kibot*[1] di Langsa, terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri.”

Penjelasan PE dalam suratnya itu merupakan klarifikasi dirinya pada sang ayah atas pemberitaan media lokal yang menyebutkan dirinya pelacur. Saat ditangkap Wilayatul Hisbah (WH) Kota Langsa di Lapangan Merdeka Langsa, pada Senin dinihari, 3 September 2012, Harian Prohaba pada 4 September 2012, menurunkan laporan yang menghakimi dan menstigmanya lewat judul berita “Dua Pelacur ABG Dibereukah[2] WH.”

Tak ada satu kalimat pun penjelasan PE yang ditulis dalam berita tersebut. Padahal dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Berita Prohaba ini tidak memenuhi unsur cover both-sides (berimbang), karena hanya berdasarkan informasi dari satu pihak saja (WH).
Padahal, saat mendapatkan informasi, wartawan seharusnya menguji terlebih dahulu informasi tersebut, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah, seperti diatur Pasal 3.

Tanpa mengindahkan Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ, Harian Prohaba langsung menghakimi PE dan IT sebagai pelacur yang kerap beraktivitas melayani lelaki hidung belang. Dalam berita itu juga disebutkan, dalam menjalankan aktivitasnya, mereka diarahkan oleh seorang germo yang namanya telah dikantongi Dinas Syariat Islam setempat.

Pasal 4 menyebutkan, Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pada penjelasan Pasal 4, fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Kami menilai, berita tersebut berisi tuduhan yang tidak berdasar.

Hal ini bisa dilihat dari berita yang dimuat Prohaba. Pada alinea ketiga, Prohaba mengutip pernyataan narasumber. Namun, tidak ada satu kutipan pun (dari narasumber) yang menyebutkan bahwa kedua anak tersebut merupakan pelacur.

Berdasarkan verifikasi yang dilakukan AJI Banda Aceh dengan Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa, Ibrahim Latif, dalam Berita Acara Penangkapan (BAP), saat ditangkap PE tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pelacur. Ibrahim pun membantah pernah menyebut mereka sebagai pelacur saat diwawancarai media.

Wartawan yang menulis berita tersebut mengaku Kepala Dinas Syariat Islam Langsa menyebutkan bahwa kedua anak tersebut merupakan pelacur. Namun, wartawan itu mengaku tidak memiliki rekaman wawancara dengan Kepala Dinas Syariat Islam yang dilakukan pada Senin (3/9/2012).

Sementara Harian Waspada lewat berita berjudul “WH Amankan Dua Remaja Putri” edisi 4 September 2012, menyebutkan kedua anak tersebut sebagai pelaku mesum. Meski nama kedua anak tersebut diinisialkan, tetapi Waspada menulis secara jelas alamat mereka. Tindakan itu melanggar Pasal 5 KEJ, yaitu “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.

Berita di Harian Waspada juga memuat prasangka dan tidak melalui proses check and recheck, sehingga berita tidak berimbang. Hal ini melanggar Pasal 3 yang diperkuat Pasal 8 yang berbunyi: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.

Penyebutan kedua anak tersebut berasal dari keluarga broken home yang terjun ke dunia hitam karena tekanan ekonomi, yang dilakukan Waspada telah melanggar Pasal 9 yang berbunyi: Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

"Kami sangat menyesali pelanggaran Kode Etik Jurnalistik itu hingga hari ini (Senin, 17 September 2012) tidak mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru, tidak akurat, disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa, seperti yang diatur pada Pasal 10 KEJ,"kata Plh Ketua AJI Banda Aceh, Taufik Al Mubarak dalam siaran pers tersebut.

Selain melanggar KEJ, kedua media tersebut juga telah melakukan pelanggaran sejumlah pasal dalam Undang-undang No 40/1999 tentang Pers, yakni Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 huruf (c, d, dan e), dan Pasal 7 ayat (2).

AJI Banda Aceh menilai pemberitaan Prohaba dan Waspada menjadi salah satu penyebab tekanan psikologis terhadap PE. Pemberitaan tersebut telah terjadi pelanggaran berat terhadap UU No 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Pemberitaan Pro Haba dan Waspada bisa dikenai sanksi pidana seperti diatur Pasal 18 ayat (2) UU No 40/1999.

Atas dua penilaian dasar tersebut, AJI Banda Aceh menuntut Dewan Pers untuk segera melakukan investigasi pelanggaran yang dilakukan kedua media tersebut dan kedua media tersebut meminta maaf kepada keluarga PE dan IT (seorang remaja putri yang ditangkap bersamaan dengan PE).
"Kami meminta media untuk profesional, menaati KEJ dan UU No 40/1999 serta menghormati hak anak seperti diatur UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Kami berharap masyarakat proaktif melaporkan berita media yang tidak sesuai dengan fakta dan etika kepada Dewan Pers,"jelas Taufik.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Next

next page